Cahayapendidikan.com – Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti – Merdeka Belajar.
Pada kesempatan yang baik ini, admin Cahayapendidikan akan berbagi sedikit informasi kepada rekan guru tentang Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti – Merdeka Belajar.
Dengan memahami Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti – Merdeka Belajar, rekan guru Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti akan dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna, pembelajaran perlu berpihak dan memberi kemerdekaan kepada peserta didik.
Merdeka belajar memungkinkan peserta didik terlibat dalam pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan dan karakteristiknya.
Keberhasilan pembelajaran tidak hanya bergantung pada pendidik.
Peran pemangku kepentingan lain sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang bermakna.
Ketika peserta didik menjadi seorang pelajar yang merdeka, peserta didik akan memiliki peluang
untuk melakukan inisiatif, mempunyai suara dan kepemilikan pada proses pembelajaran serta memiliki kesempatan
untuk memberikan umpan balik baik kepada diri sendiri, peserta didik lain, kepada pendidik dan kepada para pemangku kepentingan lainnya.
Baca Juga: Contoh Soal AKM Kelas 9-10 Numerasi dan Literasi dengan Kunci Jawabannya
Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti – Merdeka Belajar
Undang-undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (5) mengamanatkan bahwa Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan
menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Hal itu diperkuat oleh tujuan Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
pada Pasal 37 Ayat (1) menegaskan bahwa kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat, huruf a pendidikan agama.
Kemudian dalam penjelasannya menyebutkan bahwa pendidikan agama dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa serta berakhlak mulia.
Dengan demikian, pendidikan agama dapat menjadi perekat bangsa dan memberikan anugerah yang sebesar-sebesarnya bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa.
Pendidikan agama memberikan penekanan pada pembentukan iman, takwa, dan akhlak mulia menyiratkan bahwa pendidikan agama bukan
hanya bertujuan mengasah kecerdasan spiritual dan iman juga aspek ketaatan pada ajaran agama.
Namun lebih dari itu, pendidikan agama harus mampu membentuk manusia yang manusiawi.
Jadi, mengukur keberimanan peserta didik tidak hanya dilihat dari ketakwaan dan ketaatan pada ajaran agama serta pengetahuan secara
kognitif melainkan apakah peserta didik telah menjadi manusia yang manusiawi.
Keberadaan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang didirikan di atas
keberagaman membutuhkan topangan dari rakyatnya yang menyadari adanya keberagaman itu, mampu menerima dan menghargai
keberagaman yang ada dan itu harus dibuktikan melalui sikap yang manusiawi yang terukur dalam tindakan hidup.
Untuk mencapai cita-cita pendidikan tersebut, diperlukan pula pengembangan ketiga dimensi moralitas peserta didik secara terpadu,
yaitu: moral knowing, moral feeling, dan moral action.
Pertama, moral knowing, meliputi:
1. Moral awareness, kesadaran moral (kesadaran hati nurani);
2. Knowing moral values (pengetahuan nilai-nilai moral), terdiri atas rasa hormat tentang kehidupan dan kebebasan, tanggung jawab
terhadap orang lain, kejujuran, keterbukaan, toleransi, kesopanan, disiplin diri, integritas, kebaikan, perasaan kasihan, dan keteguhan hati;
3. Perspective-taking (kemampuan untuk memberi pandangan kepada orang lain, melihat situasi seperti apa adanya, membayangkan seseorang seharusnya berpikir, bereaksi, dan merasakan);
4, Moral reasoning (pertimbangan moral) adalah pemahaman tentang apa yang dimaksud dengan bermoral dan mengapa kita harus bermoral;
5. Decision making (pengambilan keputusan) adalah kemampuan mengambil keputusan dalam menghadapi masalah-masalah moral;
6. Self-knowledge (kemampuan untuk mengenal atau memahami diri sendiri). Kemampuan ini paling sulit untuk dicapai, tetapi perlu untuk pengembangan moral. (Lickona, 1991).
Kedua, moral feeling (perasaan moral), meliputi enam aspek penting, yaitu:
1. Conscience (kata hati atau hati nurani), yang memiliki dua sisi, yakni sisi kognitif (pengetahuan tentang apa yang benar) dan sisi emosi (perasaan wajib berbuat kebenaran);
2. Self-esteem (harga diri). Jika kita mengukur harga diri sendiri berarti kita menilai diri sendiri. Jika menilai diri sendiri berarti merasa hormat terhadap diri sendiri;
3. Empathy (kemampuan untuk mengidentifikasi diri dengan orang lain, atau seolah-olah mengalami sendiri apa yang dialami dan dilakukan orang lain);
4. Loving the good (cinta pada kebaikan), yang merupakan bentuk tertinggi dari karakter, termasuk menjadi tertarik dengan kebaikan yang sejati. Jika orang cinta pada kebaikan, maka mereka akan berbuat baik dan memiliki moralitas;
5. Self-control (kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri), dan berfungsi untuk mengekang kesenangan diri sendiri; dan,
6. Humility (kerendahan hati), yaitu kebaikan moral yang kadang-kadang dilupakan atau diabaikan, pada hal ini merupakan bagian penting dari karakter yang baik.
Ketiga, moral action (tindakan moral), meliputi tiga aspek penting, yaitu:
1. Competence (kompetensi moral), yaitu kemampuan untuk menggunakan pertimbangan-pertimbangan moral dalam berperilaku moral yang efektif;
2. Will (kemauan), yakni pilihan yang benar dalam situasi moral tertentu, biasanya merupakan hal yang sulit;
3. Habit (kebiasaan), yakni suatu kebiasaan untuk bertindak secara baik dan benar. (Lickona, 1991).
Tiga dimensi moralitas peserta didik ini, yaitu: moral knowing, moral feeling, dan moral action hanya dapat diwujudkan dalam tindakan.
Hal itu terwujud jikalau pembelajaran pendidikan agama memberikan pengalaman belajar yang dibentuk dalam sebuah proses berpikir yang dapat membangun daya kritis peserta didik.
Dalil-dalil agama bukanlah sesuatu yang harus diterima secara taken for granted namun harus diolah dalam suatu proses berpikir yang membutuhkan nalar atau akal sehat.
Pendidikan agama membutuhkan pembelajaran yang ditopang oleh akal sehat atau common sense sehingga peserta didik tidak jatuh kedalam fatalisme beragama.
Apa yang menurut Thomas Groome seorang Teolog dan Pakar Pendidikan Agama Kristen, sebuah proses yang terukur lewat praksis atau tindakan hidup.
Bukan sekadar “tindakan” hidup namun sebuah proses yang melibatkan manusia secara utuh, baik itu pikiran, perasaan, maupun keterampilan.
Prinsip pembelajaran ini dipertegas dalam taksonomi Bloome, tujuan pendidikan meliputi ranah pengetahuan, sikap dan keterampilan.
Sejalan dengan itu, pemikiran tersebut di atas sesuai dengan prioritas dalam pembangunan Nasional yang dituangkan secara yuridis formal
dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 (UU Nomor 17 Tahun 2007),
yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila.
RPJPN Tahun 2005-2025 ini kemudian dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang
menegaskan bahwa pembangunan pendidikan merupakan salah satu prioritas dari sebelas prioritas pembangunan Kabinet Indonesia Bersatu II.
RPJMN menyatakan bahwa tema prioritas pembangunan pendidikan adalah peningkatan mutu pendidikan.
Bagian ke empat dari 7 (tujuh) Agenda Pembangunan Nasional dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024 adalah Revolusi Mental dan Pembangunan Kebudayaan.
Revolusi mental sebagai gerakan kebudayaan memiliki kedudukan penting dan berperan sentral dalam pembangunan untuk mengubah cara
pandang, sikap, dan perilaku yang berorientasi pada kemajuan dan kemodernan, yang dilaksanakan secara terpadu dan bertumpu pada:
1. Revolusi mental dalam sistem pendidikan;
2. Revolusi mental dalam tata kelola pemerintahan; dan,
3. Revolusi mental dalam sistem sosial.
Bersandingan dengan itu, revolusi mental diperkuat melalui upaya
pemajuan dan pelestarian kebudayaan, memperkuat moderasi beragama; dan meningkatkan budaya literasi, inovasi, dan kreativitas.
Pengembangan pendidikan diarahkan bagi pembinaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Agama diyakini sebagai acuan pembentukan sikap, moral, karakter, spiritualitas, berpikir dan bertindak sesuai keyakinan imannya.
Berbagai harapan tersebut dapat dicapai melalui proses internalisasi nilai-nilai agama dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan bangsa Indonesia.
Nilai moderasi beragama diimplementasikan dalam sikap keterbukaan, kebebasan berpikir, sadar akan keterbatasan, kerendahhatian, dan berpikir untuk kemanusiaan.
Ajaran Kristen dalam nuansa moderasi beragama sangat dibutuhkan untuk menginternalisasikan karakter kekristenan yang toleran, terbuka,
humanis, penuh kasih dan damai yang sejati. Keadaan ini bersandingan dengan tujuan pendidikan nasional yang diarahkan pada berkembangnya
potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Mahaesa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Moderasi beragama merupakan wadah untuk menumbuhkan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat,
bagi terwujudnya “Tri-Kerukunan Umat Agama” di Indonesia, yakni:
kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antara umat beragama dengan pemerintah.
Nilai-nilai moderasi beragama senantiasa mejadi sikap penting bagi umat beragama melaksanakan tugas panggilan dalam interaksi dengan sesama.
Seluru eksistensi orang percaya dipanggil dan diutus melaksanakan pekerjaan Tuhan di dunia.
Komponen esensial kepribadian manusia adalah nilai (values) dan kebajikan (virtues).
Kondisi ini merupakan dasar pengembangan kehidupan manusia yang memiliki peradaban, kebaikan, dan kebahagiaan secara individual maupun sosial.
Pelayanan pendidikan agama Kristen sebagai perpanjangan tangan gereja yang berfungsi sebagai penyemaian iman kristiani,
pengembangan kedewasaan spiritualitas, dan jadi pelaku Firman (bnd. Yakobus 1:22) serta menghasilkan buah (Yoh. 16:16).
Bagi masyarakat suatu bangsa, pendidikan merupakan suatu kebutuhan mendasar dan menentukan masa depannya.
Seiring dengan arus globalisasi, keterbukaan, serta kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, pendidikan akan semakin dihadapkan dengan berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih kompleks.
Pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan sumber daya manusia yang andal, tangguh, unggul, dan kompetitif.
Oleh karena itu, kurikulum pendidikan kita pada umumnya dan pendidikan agama pada khususnya perlu dirancang sedemikian rupa sehingga dapat menjawab tantangan dan dinamika yang terjadi.
Umat manusia dihadapkan pada hal-hal baru yang muncul begitu cepat sebagai tantangan zaman yang harus dihadapi.
Perubahan budaya, sosial, kemasyarakatan, gaya politik, arah hidup dan lainnya merupakan implikasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tujuan Belajar Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti
Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti bertujuan untuk membantu peserta didik:
1. mengenal serta mengimani Allah yang berkarya menciptakan alam semesta dan manusia;
2. mengimani keselamatan kekal dalam karya penyelamatan Yesus Kristus;
3. mensyukuri Allah yang berkarya dalam Roh Kudus sebagai penolong dan pembaru hidup manusia;
4. mewujudkan imannya dalam perbuatan hidup setiap hari dalam interaksi dengan sesama dan memelihara lingkungan hidup;
5. memahami hak dan kewajibannya sebagai warga gereja dan warga negara serta cinta tanah air;
6. membangun manusia Indonesia yang mampu menghayati imannya secara bertanggung jawab dan berakhlak mulia serta menerapkan prinsip moderasi beragama dalam masyarakat majemuk;
7. membentuk diri menjadi anak-anak dan remaja Kristen yang memiliki kedewasaan berpikir, berkata-kata dan bertindak sehingga menampakkan karakter kristiani;
8. membentuk sikap keterbukaan dalam mewujudkan kerukunan intern dan antara umat beragama, serta umat beragama dengan pemerintah;
9. memiliki kesadaran dalam mengembangkan kreativitas dalam berpikir dan bertindak berdasarkan Firman Allah; dan
10. mewujudkan peran nyata di tengah keluarga, sekolah, gereja, dan masyarakat Indonesia yang majemuk.
Karakteristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti
Pendidikan Agama Kristen harus memiliki muatan pembelajaran kontekstual, artinya materi yang ada di dalam Pendidikan Agama Kristen
selalu dikaitkan dengan situasi dan konteks agar dapat menjelaskan kasus-kasus yang dialami dalam kehidupan nyata.
Fakta yang diperoleh dari kajian bagi program pendidikan Kristen, yaitu:
1) Pelaku telah diberi karunia Roh;
2) Bertujuan mendewasakan umat melayani;
3) Menghasilkan dan hubungan harmonis;
4) Bersifat kebenaran teologis;
5) Penuh kasih karunia dan kebenaran;
6) Saling membantu dan berkembang secara harmonis.
Pendidikan Agama Kristen di Indonesia berlangsung dalam keluarga, gereja dan lembaga pendidikan formal.
Pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di lembaga pendidikan formal menjadi tanggung jawab utama Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Kristen, Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan Gereja.
Oleh karena itu kerjasama yang bersinergi antara lembaga-lembaga tersebut perlu terus dibangun.
Berdasarkan karakteristik Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti disusun empat elemen yang mengikat capaian pembelajaran dan materi dalam satu kesatuan yang utuh pada semua jenjang.
Secara holistik capaian pembelajaran dan lingkup materi mengacu pada empat elemen tersebut yang selalu diintegrasikan dengan Alkitab.
Demikian informasi terkait Tujuan dan Karak teristik Mata Pelajaran Pendidikan Agama Kristen dan Budi Pekerti – Merdeka Belajar. Semoga Bermanfaat.