Cahayapendidikan.com – Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Antropologi – Merdeka Belajar.
Pada kesempatan yang baik ini, admin Cahayapendidikan akan berbagi sedikit informasi kepada rekan guru tentang Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Antropologi – Merdeka Belajar.
Dengan memahami Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Antropologi – Merdeka Belajar, rekan guru Antropologi akan dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya.
Untuk menciptakan pembelajaran yang bermakna, pembelajaran perlu berpihak dan memberi kemerdekaan kepada peserta didik.
Merdeka belajar memungkinkan peserta didik terlibat dalam pembelajaran sesuai dengan tahap perkembangan dan karakteristiknya.
Keberhasilan pembelajaran tidak hanya bergantung pada pendidik.
Peran pemangku kepentingan lain sangat diperlukan untuk mendukung pelaksanaan pembelajaran yang bermakna.
Ketika peserta didik menjadi seorang pelajar yang merdeka, peserta didik akan memiliki peluang
untuk melakukan inisiatif, mempunyai suara dan kepemilikan pada proses pembelajaran serta memiliki kesempatan
untuk memberikan umpan balik baik kepada diri sendiri, peserta didik lain, kepada pendidik dan kepada para pemangku kepentingan lainnya.
Baca Juga:Contoh Soal AKM Kelas 9-10 Numerasi dan Literasi dengan Kunci Jawabannya
Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Antropologi – Merdeka Belajar
Indonesia adalah negeri yang kaya dan beragam. Kekayaan itu tidak hanya berasal dari limpahan sumber daya alam, tetapi juga kekayaan yang berasal dari
kebudayaan yang dimiliki ribuan kelompok etnik yang tersebar di puluhan ribu pulau.
Keragaman bahasa, etnik, ras, agama, kepercayaan, dan berbagai aspek lahiriah (bendawi) dan
batiniah (non-bendawi) terbukti menjadi bagian tidak terpisahkan dari kekayaan kebudayaannya.
Menafikan keragaman, berarti juga menafikan kekayaan kebudayaannya.
Keniscayaan perbedaan itu telah terekam baik dalam sila-sila Pancasila, dan ditegaskan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.
Pemahaman keragaman dan kekayaan kebudayaan tentu akan menghasilkan kesadaran identitas diri ditengah kelompok entitas lain yang berbeda.
Kesadaran ini akan mendorong pelaku budaya, peserta didik, guru, dan masyarakat luas pada upaya mengelola perbedaan yang ada, baik atas nama dan dalam sudut
pandang pelaku budayanya ataupun pengelolaan atas nama kepentingan yang lebih besar, yaitu negara.
Dalam arti lain, pengelolaan keragaman itu berujung pada upaya mempertemukan
(i) suatu kebudayaan lokal dengan kebudayan lokal lain yang memiliki dimensi emik (native point of view); dan
(ii) kebudayaan lokal yang memiliki dimensi emik dengan kebudayaan lain atas nama kepentingan negara dan pihak lain yang cenderung memiliki dimensi etik (scientist’s viewpoint).
Pengetahuan kebudayaan atas diri, masyarakatnya dan kelompok lain beserta sesuatu di dalamnya menjadi urgensi pembelajaran antropologi.
Antropologi yang dimaksud di sini adalah antropologi fisik, arkeologi, etnologi dan antropologi sosial budaya.
Dengan ranah antropologi tersebut, pembelajaran tidak sekadar pada pengetahuan atas produksi kebudayaan,
tetapi juga ada proses penanaman nilai dan kesadaran atas kesejatian diri dari sebuah bangsa yang multikultural.
Pemahaman mendalam dan internalisasi nilai atas keragaman dan kekayaan kebudayaan itu memungkinkan hadirnya sifat peserta didik yang menghargai dan
menyemai harmoni atas kebhinekaan etnik, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan,
serta segala aspek yang berbeda dengan identitas dirinya, baik lokal maupun global.
Berdasarkan hal tersebut, maka rumpun pengetahuan ilmu sosial dan kemanusiaan,
khususnya antropologi yang diajarkan pada jenjang pendidikan menengah atas, akan memfokuskan diri pada proses identifikasi, penelusuran, dan
pengungkapan makna atas keragaman dan kekayaan kebudayaan bendawi dan nonbendawi yang ada, termasuk kebudayaan dari entitas global di abad 21 ini.
Hal penting lain, pembelajaran antropologi pada fase-fase tertentu adalah usaha dalam memberikan pemahaman mendalam dan memantik refleksi peserta didik
terhadap keunikan kebudayaannya, serta segala nilai apapun yang terkandung di dalamnya.
Dua upaya terakhir adalah ikhtiar dunia pendidikan dalam mendorong kesadaran diri peserta didik
atas kesejatian kebudayaan dalam konteks ruang dan waktunya.
Proses dalam memantik refleksi ini juga memungkinkan menguatnya nalar kritis, kreatifitas dan empati peserta didik
dalam memposisikan dan mengelola diri dengan tepat di tengah keragaman budaya.
Seluruh proses pembelajarannya akan tertuju pada penggalian nilai utama (virtue ethic) yang terkandung pada kebudayaan, sehingga proses penanaman dan
transmisi nilai-nilai palajar Pancasila pun berjalan dinamis dan berkontribusi positif bagi pembentukan sumber daya manusia yang maju dan berkeadaban warga negara (civic virtue).
Tujuan Belajar Antropologi
Mata pelajaran Antropologi bertujuan untuk memastikan peserta didik:
1. Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi, menelusuri dan mengungkapkan secara kritis berbagai aspek cakupan atau ruang lingkup (object matter) bidang
antropologi fisik, arkeologi, etnologi bahasa, dan antropologi sosial budaya yang mewujud pada bentuk kebudayaan bendawi ataupun non-bendawi;
2. Mendorong pemahaman mendalam para peserta didik atas makna dibalik setiap ruang lingkup (object matter) bidang antropologi, sehingga dapat menggugah
nalar kritis saat melihat dan mengalami proses produksi dan praktik kebudayaan pada konteks ruang dan waktunya;
3. Memantik refleksi para peserta didik atas nilai-nilai utama (virtue ethic) yang terkandung pada kebudayaan, baik bendawi maupun non bendawi dalam
praktik kehidupannya, sehingga rekonstruksi pemikiran dan transformasi sosial dapat dilakukan dengan baik;
4. Meningkatkan pengetahuan secara mandiri dan kreatif atas berbagai kebudayaan,
sehingga memiliki kesadaran pelestarian dan pemajuan kebudayaannya.
5. Menumbuhkembangkan empati peserta didik terhadap keragaman dan kekayaan kebudayaan, baik dalam arti entitas dan pelaku kebudayaan lokalnya ataupun
kebudayaan lain, sehingga mampu beradaptasi dan menciptakan suasana harmoni dan berkeadaban publik (civic virtue).
6. Mengembangkan kemampuan beradaptasi dalam menerima kebudayaan lain, khususnya terkait kebhinekaan global, sehingga proses transformasi sosial dapat berkembang;
7. Menanamkan nilai-nilai utama dalam menciptakan bangsa yang beradab, menguatkan kegotongroyongan, dan responsif terhadap kebhinekaan global.
Karakteristik Mata Pelajaran Antropologi
Fase pembelajaran antropologi didasarkan pada pertimbangan usia peserta didik yang diasumsikan memiliki korelasi kuat dengan tingkat atau kelas pendidikan formalnya.
Kondisi peserta didik pada setiap fase akan menentukan capaian minimum dari ruang lingkup atau elemen dari pembelajaran antropologi.
Jika dilihat dari fase, maka pembelajaran antropologi disampaikan pada peserta didik yang berada pada tahap operasional formal (umur 11/12-18 tahun), sebagaimana disebut oleh Piaget.
Ciri pokok perkembangan pada fase ini adalah anak sudah mampu berpikir abstrak dan logis dengan menggunakan pola berpikir “kemungkinan”.
Model berpikir ilmiah dengan tipe hypothetico-deductive methode (metode hipotesis deduktif) dan metode induktif dapat disiapkan sejak awal.
Metode hipotesis deduktif akan dilakukan dengan empat proses dasar, yaitu
(i) mengembangkan pertanyaan penelitian;
(ii) merumuskan hipotesis atau preposisi (jawaban sementara);
(iii) melakukan pengujian terhadap hipotesis; dan
(iv) memformulasikan teori. Pendekatan ini berlandaskan pada asumsi bahwa
semua peserta akan mendapatkan pemahaman terbaik tentang fenomena antropologi melalui analisis terhadap aspek-aspek yang ada di sekitarnya.
Sedangkan pengembangan metode induktif, peserta didik akan diarahkan pada proses pembelajaran dari pengamatan atas data antropologi di lingkungan
sekitarnya, dan kemudian diangkat menjadi narasi temuan yang dikuatkan dengan berbagai teori ilmiah yang dirujuk dari berbagai literatur.
Dalam pelaksanaan metode induktif, proses pembelajaran akan mencakup empat Langkah dasar, yaitu:
(i) identifikasi fenomena ruang lingkup antropologi di lingkungan sekitar;
(ii) membuat pertanyaan dari temuan;
(iii) menarasikan dan mendiskusikannya pada sebuah tulisan dan
(iv) menguatkannya dengan teori, atau mencari tahu titik perbedaan dari suatu teori yang ada. Keterampilan pembelajaran dengan dua pola (deduktif dan induktif)
telah mulai diajarkan dan dimiliki peserta didik, khususnya dalam mengidentifikasi masalah,
mencari jawaban dan menarik kesimpulan, serta menafsirkan dan mengembangkan pemahamannya.
Pada tahap ini kondisi berpikir peserta didik sudah dapat:
(i) Bekerja secara efektif dan sistematis, dan
(ii) Menganalisis secara kombinasi.
Dengan demikian telah diberikan dua kemungkinan penyebabnya, C1 dan C2 menghasilkan R, anak dapat merumuskan beberapa kemungkinan;
(iii) Berpikir secara proporsional, yakni menentukan macam proporsional tentang C1, C2 dan R misalnya; dan
(iv) Menarik generalisasi atau isu sepsifik secara mendasar pada satu macam isi.
Dengan karakter fase peserta didik di atas, maka gambaran fase dan standar capaian minimum pembelajaran antropologi sebagai berikut:
1. Memahami dan mendeskripsikan masalah yang berada pada ruang lingkup antropologi;
2. Mengidentifikasikan bentuk masalah sosial budaya di sekitar diri, keluarga dan masyarakat yang menjadi ruang lingkup atau cakupan antropologi;
3. Melakukan analisis terkait masalah sosial budaya yang ada di sekitar diri, keluarga dan masyarakatnya, baik di masa lalu atau sekarang ini
4. Mendeskripsikan analisis problematika keanekaragaman sosial budaya yang menjadi cakupan dan ruang lingkup, baik di masa lalu atau sekarang ini;
5. Menjelaskan muatan nilai – nilai virtue ethic dan civic virtue yang terkandung pada cakupan dan ruang lingkup antropologi secara umum dan khususnya.
Demikian informasi terkait Tujuan dan Karakteristik Mata Pelajaran Antropologi – Merdeka Belajar. Semoga Bermanfaat.